Pengendara Motor dan Kepekaan Sosial

Bagi saya, tahun 1990 adalah masa saat motor menjadi kebutuhan tambahan (tersier) dan penanda status sosial seseorang. Setidaknya itulah yag terjadi d daerah saya di Pringsewu, Lampung. Bisa dihitung jari orang-orang yang mampu membelinya. Bahkan saat itu, untuk menghadiri acara kondangan, keluarga saya harus menempuh perjalanan dengan sepeda kumbang lengkap dengan sensasi jalanan terjal yang belum diaspal. Sesekali meminjam motor tetangga dengan mengisi bensin sebagai rasa terimakasihnya, tapi tidak bisa terus-terusan pinjam. Bahagia seperti lebaran adalah ketika sepeda bermesin itu bisa membawa saya ke jarak yang lumayan jauh, dengan tempat duduk yang empuk dan dengan kecepatan yang diatur sesuka hati tanpa pegal betis setelahnya.

Tahun 200an menjadi penanda waktu motor mulai dimiliki sebagian orang di sini, untuk mengantar barang dan kebutuhan strategis lainnya. Saat itu banyak orang yang masih berpikir yang penting motornya, merk menjadi prioritas nomor sekian. Mungkin logikanya adalah apalah arti sebuah merk kalau sama-sma bisa jalan. Lambat laun, perusahaan motor juga semakin cerdik menarik konsumen. “Iming-iming” yang membuat orang “saya pengen beli”. Menjelang bulan puasa misalnya, tawaran kredit motor sangat menggiurkan kalangan menengah ke bawah untuk tampil gaya dibulan ramadhan dan lebaran dengan motor baru yang masih “gres” dan belum berplat lengkap dengan baju-baju lebaran. Tidaklah salah memiliki sepeda motor. Everyone deserves to be happy with that. Tidak peduli beli cash atau kredit, untuk bekerja atau untuk mempermudah mobilitas sehari-hari, atau untuk memoles status sosial. Yang perlu digarisbawahi adalah ketika kemampuan membeli dan menaiki sepeda motor itu tidak diimbangi pemahaman aturan berkendara dan norma sosialnya. Aturan sudah ada dari pemerintah, namun norma sosial ini yang masih samar-samar.

HELM

“Ini bukan jalan mbahmu”. Mungkin itulah umpatan yang sering muncul ketika banyak orang melanggar lalu lintas di sirkuit aspal (baca: jalan raya). Berapa banyak orang yang terlalu percaya diri bahwa nyawa mereka akan baik-baik saja manakala mereka kebut-kebutan atau tidak memakai helm. Saya paham bahwa kapan kita celaka atau in the worst case kita dipanggil Tuhan itu sudah tertera di lembaran takdirNya, namun banyak orang yang merasa terlalu percaya bahwa “Belum saatnya saya celaka, jadi mendingan saya pamer gaya dulu selagi belum saatnya mati”. Saya masih bertanya-tanya apa yang membuat mereka berani berkendara tanpa helm, memprioritaskan kekerenan wajahnya dengan mengendarai motor daripada menutup kepala walau tampak seperti robot atau astronot. Bagi wanita yang berhijab, helm kadang cuma nempel dikepala sambil dipegangi takut hijab do nya rusak. Apakah ini ketakutan dalam diri saya terhadap satu-satunya otak dan kepala yang saya miliki selama satu kali hidup saya? Semaju-majunya teknologi, resiko juga akan tetap ada. Aspal yang halus memang nyaman untuk ban motor, tapi tidak untuk kepala kita.

“Gak usah pakai helm, gak ada polisi”. Sebuah naratif yang juga ditularkan kepada siapa saja termasuk kepada anak-anak. Memang benar, jika tidak memakai helm sewaktu ada razia, kita akan kena tilang, lalu kita mengeluarkan sejumlah uang. Entah mengapa, apa yang perlu ditakuti dari seorang polisi ketimbang sejumlah ratus ribu yang harus kita keluarkan karena kebodohan (kelalaian) kita sendiri. Mereka menjalankan tugas negara, mengingatkan orang-orang yang khilaf dan malas mengurus surat-surat. Terlepas uangnya masuk ke kantong siapa ya. Resiko jatuh dari motor akan selalu ada sekalipun kita sudah hati-hati, saat jatuh lengkap dengan gegar otak dan pendarahan hebat sampai nyawa tidak tertolong ataupun malfungsi otak itu juga satu banding sejuta misalnya. Namun, ketika satu banding satu juta ini yang meghampiri kita, tidak ada yang bisa berbuat apa-apa kecuali keajaiban Tuhan. Itupun kalau beruntung. Bagi saya memakai helm adalah cara saya mencintai Tuhan dan menyayangi diri sendiri, membuat diri saya merasa sudah berikhtiar sekalipun apa-apa nanti terjadi sekaligus membuat diri saya lega.

MENDAHULUI

Masalah perhelman ini juga bersinggungan dengan masalah tancap gas sesuka hati dengan prinsip “motor dan mobil di depan saya harus bisa disalip”. Pastinya seseorang merasa puas jika skill menyalip kendaraannya semakin terasah sehingga bisa mencapai tujuan dengan lebih cepat dari biasanya. Tapi tidak harus menyalip kendaraan sebanyak-banyaknya. Kadang banyak yang nekat (atau mungkin ini ketakutan saya saja) demi memuaskan hasrat lalu tertawa puas menyalip truk fuso pembawa karet yang baunya kemana-mana. Percaya diri itu penting, tapi analisis resiko untuk diri sendiri dan pengendara lain itu juga penting. Kadang yang membuat kita lupa adalah kita baik-baik saja, namun ada orang yang berusaha menghindari maut dan kecelakaan karena ulah kita di jalan. Saya belum riset tentang banyaknya kecelakaan yang diakibatkan oleh faktor menyalip kendaraan, tapi saya yakin itu banyak. Sing hati-hati ya Bapak/Ibu, orang lain tidak terlalu peduli dengan level keahlian menyalip anda yang tinggi.

BELOK DADAKAN

Hal lain yang sering mebuat saya mengelus dada adalah orang yang tiba-tiba langsung menyalakan lampu sein dan langsung belok. Come on, entah apa yang ada dipikirannya. Apakah dengan menyalakan lampu sein dan langsung belok secara hukum sudah benar sehingga jika terjadi kecelakaan bisa membela diri dengan mudah?. Ada orang yang berusaha menghindari maut dan kecelakaan karena ulah kita di jalan. Mari kita berpikir dengan logika matematika dan biologi dasar. Orang yang melihat lampu sein kita adalah orang yang sebenarnya berkonsentrasi untuk melihat jalan lurus dan fokus pada tujuannya. Lampu sein adalah sinyal untuk mengalihkan orang-orang yang berkonsentrasi tersebut agar melihat motor yang menyalakan lampu tersebut. Tidak hanya untuk melihat, lampu sein adalah tanda agar kita memberi jalan. Tapi proses agar pesan “minggir dong” ini dipahami, butuh proses yang agak lama. Saya tidak tau berapa detik yang dibutuhkan, tapi otak manusia tidak bisa merespon sesuatu yang tiba-tiba. Lampu sein akan dilihat oleh mata, input dari mata diteruskan ke otak bahwa ada yang menyalakan lampu sein, lalu dikirim ke bagian otak lainnya untuk menerjemahkan makna lampu sein bahwa badan harus berbuat sesuatu. Dari otak mengirim sinyal respon ke mata, tangan, kaki bagaimana caranya agar motor dengan lampu sein tersebut diberi ruang sekaligus mengamankan diri sendiri agar tidak tertabrak kendaraan lain di sekitarnya. Intinya kalau ribet dan malas dengan logika ini, berempatilah, pikirkan orang lain juga yang berkendara di dekat kita. Nyalakanlah lampu sein sampai kira-kira orang recognize nyala lampu kita.

KONVOI ALA-ALA

Pernah lihat pengendara, biasaya anak SMA, merapatkan sebelah kakinya ke motor temannya lalu konvoi beriringan dan makan tempat di jalan? What’s your point? Kadang mereka berkendara lambat sambil tertawa-tawa. “Ini bukan jalan mbahmu”. Banyak orang yang perlu mendahului karena berbagai kepentingan, dan mereka tidak bisa kecepatan di bawah mereka. Mentok-mentok mereka akhirnya mengklakson berkali-kali daripada frontal “Minggir, whoy!!”. Orang-orang yang ingin mendahului ini perlu space menyalip, jangan ngobrol di jalan beriringan.

DI LAMPU MERAH

Siapa yang kesal mendengar bunyi klakson bersahut-sahutan di lampu merah? Saya termasuk salah satunya. Banyak orang yang masih tidak peka di lampu merah. Yang pertama adalah orang yang memanfaatkan early second lampu merah untuk jalan terus. Menurut saya ini menjadi salah satu faktor kenapa kita semakin lama menunggu di lampu merah. Again, Ada orang yang berusaha menghindari maut dan kecelakaan karena ulah kita di jalan. Lalu anda bangga, if you do this, kalau berhasil melakukan ini? Terimalah takdir anda untuk menunggu 2-3 menit saja. Kita perlu berempati dan berkorban waktu karena aturan (lampu merah) tidak bisa memuaskan semua pihak. Biarkan mereka menikmati hak mendapatkan lampu hijau. Kalau tidak mau, pelajari saja siklus lampu merahnya setiap hari, sama atau tidak, kalau sama berarti hitunglah setiap jam berapa lampu merah menyala di jalur yang anda kehendaki, lalu hindarilah waktu-waktu itu. Yang kedua adalah orang-orang yang tidak sabar yang melampiaskannya melalui klakson. Come on!. Jika kita berada di baris belakang jalur lampu merah, sabar. Para pengendara baris di depan juga menantikan lampu merah dan tidak mau berlama-lama di situ. No good at all of being in that area. Yang jalan duluan adalah yang dibarisan depan. Ketika kita berada di barisan belakang, tidak bisa disamakan dengan yang depan. Klakson berkali-kali juga useless, karena ada masa transisi setiap kendaraan di depan kita. Misal, orang yang berada di 5 meter pertama dekat lampu merah butuh waktu 6 detik, berarti orang yang berada di 5 meter keempat atau meter ke 20 berarti butuh waktu 24 detik. Again, kalau malas berlogika, tunggu aja gilirannya. Berempati lah.

Cerita saya diakhiri dulu sampai sini. Saya percaya masih ada orang baik dan berempati dengan orang lain ketika berkendara. Buat diingat bersama bahwa kita hidup berdampingan dan menghargai orang lain di jalan raya itu penting sekali. Hati-hati di jalan ya teman-teman.

Leave a comment