Pengendara yang (Terlalu) Muda

Saat ini memiliki motor itu sepertinya sudah menjadi sesuatu yang wajib, kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Tidak heran jika mungkin kita atau tetangga kita sering sekali kesana kemari menaiki bebek bermesin ini entah untuk keperluan yang memang penting atau sekedar untuk jalan-jalan santai (menghabiskan bensin). Tak hanya diminati orang tua, motor ini juga telah berhasil membius anak-anak untuk bercita-cita mampu membawa sepeda motor sendiri, dengan berbagai cara hingga orangtuanya luluh mengiyakan. Tapi, bijakkah?

Ada beberapa alasan dari orang tua tentang ini. Dalam kondisi lingkungan yang jauh dari mana-mana, orangtua biasanya memberikan anaknya motor untuk berangkat sekolah. Mengapa? Karena untuk menempuh sekolah tersebut bisa berjam-jam dengan berjalan kaki. Basah kuyup keringat mengucur, kaki pegal-pegal dan kelaparan, “lah ra sido sekolah”. Orangtuapun harus berangkat pagi-pagi bekerja. Tidak ada angkot lewat di daerah ini. Dalam kondisi ini, saya tidak bisa idealis, mereka butuh pendidikan dan efisiensi waktu.

Akan tetapi, banyak kasus-kasus lain yang membuat saya “kok dibolehin ya anak-anak ini?”. Banyak anak-anak SD di sekitar saya yang bersliweran tiap sore dengan motor bapaknya. Dari persepktif anak, adalah suatu kebanggaan tiada tara jika anak SD atau SMP bisa menaiki motor, main ke rumah A mengerjakan PR (atau sekedar main atau menanyakan nomor hape teman lawan jenisnya lalu ngapel). Namun, tidak sedikit dari mereka yang ketika naik motor, kakinya belum sampai nginjak tanah atau masih jinjit. Kadang juga masih “egal-egol” tidak yakin, belok tanpa lampu sein, dan benar-benar terlalu bahagia untuk dirinya sendiri balap-balapan sambil cengengesan. Mungkin kalau saya jadi mereka, saya cuma bilang”kalau ada apa-apa, ada Bapak saya”. Yang saya cermati adalah kepekaan sosial mereka masih jauh, masih drive for happiness, belum berempati terhadap pengendara lain di jalan.

Dari perspektif orangtua, mungkin mereka ingin menghadiahi anak sebagai bentuk cinta kasih mereka. Atau motor baru sebagai hadiah karena anaknya lulus SD dengan hasil memuaskan atau anak laki-lakinya bersedia disunat. Atau bisa saja, “Wis dadi karepe anak” yang seolah-olah orangtua sudah tidak punya cara lagi. Mungkin juga faktor peer pressure karena tetangga-tetangga juga demikian. Memang ya kalau namanya social pressure seperti ini, manusia berlomba lomba untuk terlihat baik di mata orang. Air muata buaya anak kecil itu hebat sih ya. Namun apapun itu alasannya, it is more harm than good.

Dulu saya diizinkan belajar motor waktu kelas III SMP (Kelas IX) saat sudah selesai ujian. Bagi ayah saya itu adalah waktu yang tepat karena mungkin secara fisiki kaki saya sudah sampai menginjak tanah ketika naik motor (hahaha) dan sudah cukup bisa membawa diri. Secara hukum belum boleh. Ok, saya mengakui ini salah. Iya salah. The thing is. Praktek-praktek anak di bawah umur menaiki sepeda motor ini banyak sekali (plus yang kebut-kebutan dan tidak memakai helm). Sebenarnya sudah adakah program dari kepolisian to address this issue? I don’t know yet. Masalahnya ini terjadi di setiap pelosok atau jalanan komplek pedesaan. Mereka bakal dikenai hukuman tidak si? Atau mereka tau kan?. Atau yasudah biarkan saja, toh hukum negara ini memang tidak akan pernah lengkap mengatur sampai detail, atau biarkan saja karena saya juga manusia yang punya anak istri yang melakukan demikian.

Do you have any ideas? Kadang malesnya di kita adalah menyuarakan seperti ini, kena serang balik, seperti kasus Afi padahal niatnya ingin mencari pemikiran bersama-sama. Atau bilang kenapa tidak kamu (penulis) yang sekalian cari idenya? That’s perfection at its best. Kalau stance saya, anak-anak sampai lulus SMP belum boleh diijinkan mengendarai motor sendiri karena faktor pskiologi, fisik dan kematangan sosialnya. Biarkan mereka merengek-rengek karena memang belum siap.

Leave a comment