Tentang endangered language

Bahasa saat mereka muda

Tadi pagi setelah bersih-bersih rumah, saya mengobrol santai dengan ibu saya. Seperti pola obrolan pada umumnya yang terjadi di masyarakat saya, mereka akan memulai obrolan dari hal yang mereka lihat di sekelilingnya. Ibu saya mengawali obrolan dengan membahas lemari tua di sudut ruang makan yang dulu dibelinya saat awal-awal memiliki rumah sendiri setelah menikah. Obrolan terus mengalir sampai ke kenangan masa lalu tentang susah dan sederhananya hidup pada zaman itu. Beliau menceritakan aktivitas-aktivitas masa lalu dengan menggunakan bahasa Jawanya. Saya menangkap bahwa mulai banyak kegiatan yang ditinggalkan saat ini, seperti membuat tikar dari bahan “mendong”, yang aktifitas menganyamnya disebut “nganam”. Saya masih bahasan sosiolinguistik tentang bahasa dan budaya, dimana jika budaya yang dilakukan mulai ditinggalkan, ada potensi hilangnya kosakata itu karena sudah jarang dituturkan oleh penuturnya. Lalu, munculah ide untuk mengobrol lebih banyak dengan generasi jaman ibu saya dan di atasnya tentang masa-masa mudanya. Selain untuk menemukan macam-macam aktivitas ekonomi/survival zaman dulu, nanti mudah-mudahan akan ketemu juga aktivitas sosiokultural lainnya. Lumayan, hasilnya bisa dibagi ke banyak orang, syukur-syukur masuk ke linguistic conference.

Gender Stereotype dalam Percakapan Jawa

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, gender stereotype masih sangat kental, bahkan telah mengakar lewat bahasa. Sering kali dalam pembahasan pernikahan, orang Jawa mengatakan “ulih wong ngendi?” atau “dapet orang mana?” yang menunjuk pada pengantin laki-laki yang menikah dengan perempuan mana. Jika pertanyaannya seputar perempuan yang menikah dengan laki-laki mana, maka yang ditanyakan adalah “dipek wong ngendi” atau “dipetik orang mana”.

Ulih won ngendi” seakan menyiratkan kalau laki-laki itu yang mencari, yang berusaha, sementara perempuan itu mungkin yang diam menunggu. Kalimat “dipek wong ngendi” juga hampir sama maknanya, bahkan menyiratkan kalau wanita itu istimewa. Dipetik ibarat sebuah bunga, yang kemudian dipetik untuk dijadikan miliknya. Suit suittt!!!!!.

Gender stereotype ini di masyarakat Jawa sepertinya berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang patriarki – laki-laki lebih bekuasa ketimbang wanita. Dulu, atau mungkin sebagian masih ada sekarang, di zaman ibu saya kecil, seorang ayah mendapat jatah makan paling banyak juga dengan lauk yang paling enak, sementara anak dan istrinya hanya mendapat sebagian. Logisnya pastilah karena ayah adalah kepala keluarga, yang mencari uang dan bertanggungjawab membangun keluarga. Semacam upah keringat. Tapi sekarang, seiring wanita juga makin diberi ruang untuk bersuara dan faktor-faktor lain, tak ada lagi istilah laki-laki mendapatkan jatah yang lebih banyak ketika makan. Yang penting bukan banyaknya makanan, tapi bagaimana indahnya makan bersama keluarga atau makan berdua suami-istri.

***

Tiba-tiba iklan bedak bayi lewat “kalau liat bayi lucu diiklan tivi, seneng lho” kata ibu saya. “Bu, nggak nyuruh saya cepet-cepet kawin kan????????”

Among-among

Di dusun tempat saya dibesarkan, Lohjinawai, masih kental sekali dengan perayaan adat Jawa, atau orang-orang sini menyebutnya Slametan. Selametan adalah perayaan syukuran terhadap waktu-waktu tertentu misalnya pada saat membuat rumah baru, mengenang satu minggu orang yang meninggal, Maulid Nabi, sampai Selametan untuk anak-anak. Slametan anak-anak ini disebut juga “Among-among”.

Among -among ini biasanya dilaksanakan pada saat “Muyen” atau pada saat bayi diberi nama, saat bayi sembuh dari suatu penyakit (pada kondisi tertentu seorang bayi harus berganti nama karena dipercaya bisa memperbaiki kondisi jiwa anak), termasuk ketika seorang balita dengan sukses lepas dari ASI (tidak nenen lagi, hehe).

Ketika bayi menginjak “Selapan” atau 36 hari dan kelipatannya,among-among juga dilaksanakan. Ceritanya kemarin saya menghadiri among-among keponakan saya yang berusia 3 lapan (3×36 hari). Siapa yang diundang? adalah mereka yang masih balita, masuk sekolah dasar, sampai SMP,karena dipercaya anak-anak belum menanggung dosanya sendiri, jadi doa-doanya bisa mudah dikabulkan, katanya. Doa setiap among-among peringatan usia seperti ini berisi harapan agar seorang anak bisa tumbuh seha, pintar, dan berakhlak.

Makanan yang dibuat adalah nasi, “kluban”/urap, telur, dan kerupuk merah. Makanan unik tersebut dimasukan kedalam “takir’ atau wadah makanan yang dibuat dari daun pisang. Nah, ada ritual yang khas di sini. Setelah makanan di “doain” anak-anak yang mengamini diberi cipratan air dengan menggunakan daun “towo” atau daun katuk (daun yang biasa digunakan untuk membersihkan tempat keluar ASI). Ya berasa ada gerimis di dalam ruangan, atau hujan lokal, hehe.

Hore…waktunya dapat takir. Among-among ini sangat kental sekali dengan ucap syukur ketika seorang anak berhasil dalam pencapaian tertentu.

Meskipun saya sudah besar, besar sekali, ya..saya ikutan makan…hitung-hitung mengenang tradisi. Apakah kamu juga pernah ikut perayaan seperti ini juga?

“Sebuah tradisi dan Agama memang tidak selamanya sejalan, tetapi tradisi adalah bagian dari kehidupan kita. Itulah bagaimana kita memaknai sebuah pencapaian..”