Lingkaran Putus Sekolah

Bagi sebagian orang, memilih sekolah menengah atas itu sudah sampai pada tahap mencari kampus dengan fasilitas prima, akreditasi A, pengajar terbaik, kegiatan penunjang yang keren dan memiliki reputasi tinggi sebagai sekolah yang mampu mengantarkan lulusannya ke kampus-kampus trbaik negri ini. Hal ini tentunya tidak lepas dari harapan agar semakin cemerlang masa depan mereka dengan polesan-polesan akademik sekolah dan kampus itu. In the end, harapannya adalah mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang berkelas. Dengan susah payahnya orangtua mencari referensi sekolah terbaik, menyiapkan tabungan pendidikan, bekerja siang malam itu masih banyak sekali terlihat anak-anak tahun pertama yang masih mabal, ingin pindah jurusan padahal passing grade jurusannya sudah tinggi sekali (dengan orang yg berlomba-lomba ingin masuk jurusan itu), belajar seadanya, berangkat diantar ortu atau sopir yang terkadang masih dengan muka cemberut masih ingin tidur, atau sampai membuat menyusahkan orangtua. What I am trying to say adalah tidak perlu susah-susah memikirkan SPP sekolah tinggal berangkat, dan otak masih bisa menyerap pelajaran, itu adalah kenikmatan besar bagi saya. Pintu ilmu pengetahuan itu masih bisa saya buka.

Namun, ada Rani di sini dan dibanyak tempat, seorang gadis kecil di pedalaman sebauh kampung di Indonesia yang baru saja lulus SMP dengan nilai cemerlang dan semangat serta rasa ingin tahu yang tinggi untuk belajar ini masih menunggu nasib baik dan keajaiban Tuhan untuknya agar ia bisa masuk sekolah menengah atas, apapun itu sekolahnya yang penting jenjang setelah SMP. Ia adalah anak seorang buruh, yang tinggal bersama kakek neneknya karena orangtuanya harus bekerja menjadi buruh ladang yang sangat jauh dari rumahnya. Orangtuanya hanya bisa bercakap melalui telepon genggap (monoponik) sesekali atau mungkin pulang saat lebaran, itupun harus dengan menabung dengan susah payah. SD-SMP Rani lewati dengan penuh semangat karena ia masih bisa secara finansial ditanggung kakek nenek dan saudara-saudaranya. Ia masih bisa menempuh sekolah yang berjarak 2 km itu. Ia masih bisa setengah jam berjalan kaki.

Biaya SMA jauh berbeda dengan biaya SMP. Jumlah SMA bisa dihitung di setiap kecamatan, jauh lebih sedikit dari jumlah SMP, itupun cukup jauh jaraknya. Biaya sekolah SMA lebih mahal karena ada uang bangunan atau sumbangan ke sekolah, belum lagi keperluan buku-buku dan peralatan sekolah lainnya juga ongkos naik angkutan umum dari dan ke sekolah, setiap hari selama tiga tahun. Adapula uang jajan, agar setidaknya tidak terlalu sering menelan ludah melihat temannya membeli mie goreng atau sekedar membeli es teh sisri atau pop ice di tengah hari bolong.

Dalam posisi ini, menuju sekolah favorit yang juga jaraknya jauh (dan terkadang juga mahal) tidak lagi menjadi pilihan. Apapun sekolahnya yang dekat dari rumah, tidak perlu membayar ongkos, yang kalau lapar masih bisa ditahan, yang jarang ada kegiatan di luar, atau yang bisa pulang lebih awal karena tidak ada guru biar si anak bisa bantu-bantu ibu di rumah. Itupun harus pontang-panting menabung iuran sekolah.

Pada akhirnya, banyak Rani-rani lain yang terjerat di belenggu ekonomi ini dan kadang tak ada pilihan lain selain duduk di rumah, hampa tak berkegiatan, ikut orangtua ke sawah untuk berladang, ikut orangtua ke pasar untuk membuka lapak dagangan. Lalu mereka tumbuh remaja dan semakin dewasa dan menunggu di lamar. Mudah-mudahan tidak hamil duluan. Beberapa dari mereka bisa bertahan, mencoba peruntungan di ibukota atau kota besar, menjadi asisten rumah tangga atau menjaga toko. Sebagian kecil dari mereka mungkin sadar pendidikan dan mencari peluang-peluang lain hingga di sekolahkan majikannya. TAPI ITU SEDIKIT!. Banyak dari mereka yang menikah muda. Jerit hati si Rani adalah “seandainya aku bisa sekolah, setidaknya saya bisa bekerja lebih baik membantu orang tua saya. Tapi sudahlah, saya sudah sampai pada titik saya ikhlas lahir batin”. Ikhlas adalah penerimaan tertinggi untuk melawan takdir dengan bijak.

Saya mengakui, pendidikan SMA memang tidak mengajarkan semua hal. Namun, setidaknya bisa mengantarkan seseorang ke pilihan yang lebih banyak tentang masa depan. Dunia kerja memang pahit. Selembar ijazah SMA lah yang setidaknya bisa membedakan berapa upah yang akan diterima. Itulah kenyataannya. Lebih dari sekedar ijazah, setidaknya ada tambahan wawasan yang terbuka, tentang negri ini, tentang perhitungan matematika dasar, pemikiran yang lebih luas, belajar berorganisasi (jika ada), koneksi yang sedikit lebih lebar, dan pola-pola pembelajaran hidup yang diperoleh saat tiga tahun itu. Setidaknya SMA bisa sedikit memandirikan seseorang. Mungkin saja pikirannya bisa tercerahkan ketika membuka buku atau internet, yang bisa membawanya pada labirin-labirin kesempatan kerja di depan mata. Kita tidak akan pernah tau.

Dari persepktif orangtua, kebutuhan pokok seperti membeli sembako, membayar tagihan lisrik, membeli peralatan rumah tangga adalah prioritas utama, yang mana keuangan harus lari ke area ini dahulu sebelum ke yang lain. Pendidikan tentunya ingin menjadi prioritas mereka, sayangnya uang yang masuk setiap bulan harus dibagi-bagi. Siapa si yang tidak ingin anaknya bisa sekolah tinggi? Ketika ini tidak bisa dicapai, jalan terbaik adalah menyuruh anaknya untuk ikut orang untuk bekerja, belajar sebanyak-banyaknya, bekerja sekeras-kerasnya, jangan hanya bangun makan main (repeat) di rumah.

Mengapa saya menulis ini. Karena saya percaya lingkaran putus sekolah ini masih bisa teratasi, tapi masih memikirkan banyak cara. Mungkin saya bisa membantu Rani dengan crowdfunding, tetapi ini tidak sustain, bagaimana caranya ada stau program atau mekanisme yang bisa menyelamatkan Rani-rani yang lain. Mulai dari mana?

Pertanyaan mendasar saya adalah, apakah siswa-siswi ini sudah tercerahkan sejak awal tentang biaya minimal yang harus disiapkan untuk tiga tahun pendidikan SMA? Apakah mereka terlalu terkejut dengan besaran biaya ini dan sontak tidak bisa membayar samasekali? Ataukah memang sudah tau dan memang sudah tidak bisa diakali lagi? Atau sudah ingin memasrahkan anaknya untuk menikah atau dinikahi saja?

Sepertinya banyak jerat yang harus diurai. Mulai dari motivasi anak, peningkatan kemampuan ekonomi orangtua, sedekah para dermawan, CSR yang semakin menjangkau banyak kalangan, dan sebagainya. Dan, keadaan-keadaan ini terkadang tidak masuk ke dalam newsfeed media sosial kita sampai pada saatnya kita mengalaminya sendiri.

Leave a comment