Lingkaran Putus Sekolah

Bagi sebagian orang, memilih sekolah menengah atas itu sudah sampai pada tahap mencari kampus dengan fasilitas prima, akreditasi A, pengajar terbaik, kegiatan penunjang yang keren dan memiliki reputasi tinggi sebagai sekolah yang mampu mengantarkan lulusannya ke kampus-kampus trbaik negri ini. Hal ini tentunya tidak lepas dari harapan agar semakin cemerlang masa depan mereka dengan polesan-polesan akademik sekolah dan kampus itu. In the end, harapannya adalah mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang berkelas. Dengan susah payahnya orangtua mencari referensi sekolah terbaik, menyiapkan tabungan pendidikan, bekerja siang malam itu masih banyak sekali terlihat anak-anak tahun pertama yang masih mabal, ingin pindah jurusan padahal passing grade jurusannya sudah tinggi sekali (dengan orang yg berlomba-lomba ingin masuk jurusan itu), belajar seadanya, berangkat diantar ortu atau sopir yang terkadang masih dengan muka cemberut masih ingin tidur, atau sampai membuat menyusahkan orangtua. What I am trying to say adalah tidak perlu susah-susah memikirkan SPP sekolah tinggal berangkat, dan otak masih bisa menyerap pelajaran, itu adalah kenikmatan besar bagi saya. Pintu ilmu pengetahuan itu masih bisa saya buka.

Namun, ada Rani di sini dan dibanyak tempat, seorang gadis kecil di pedalaman sebauh kampung di Indonesia yang baru saja lulus SMP dengan nilai cemerlang dan semangat serta rasa ingin tahu yang tinggi untuk belajar ini masih menunggu nasib baik dan keajaiban Tuhan untuknya agar ia bisa masuk sekolah menengah atas, apapun itu sekolahnya yang penting jenjang setelah SMP. Ia adalah anak seorang buruh, yang tinggal bersama kakek neneknya karena orangtuanya harus bekerja menjadi buruh ladang yang sangat jauh dari rumahnya. Orangtuanya hanya bisa bercakap melalui telepon genggap (monoponik) sesekali atau mungkin pulang saat lebaran, itupun harus dengan menabung dengan susah payah. SD-SMP Rani lewati dengan penuh semangat karena ia masih bisa secara finansial ditanggung kakek nenek dan saudara-saudaranya. Ia masih bisa menempuh sekolah yang berjarak 2 km itu. Ia masih bisa setengah jam berjalan kaki.

Biaya SMA jauh berbeda dengan biaya SMP. Jumlah SMA bisa dihitung di setiap kecamatan, jauh lebih sedikit dari jumlah SMP, itupun cukup jauh jaraknya. Biaya sekolah SMA lebih mahal karena ada uang bangunan atau sumbangan ke sekolah, belum lagi keperluan buku-buku dan peralatan sekolah lainnya juga ongkos naik angkutan umum dari dan ke sekolah, setiap hari selama tiga tahun. Adapula uang jajan, agar setidaknya tidak terlalu sering menelan ludah melihat temannya membeli mie goreng atau sekedar membeli es teh sisri atau pop ice di tengah hari bolong.

Dalam posisi ini, menuju sekolah favorit yang juga jaraknya jauh (dan terkadang juga mahal) tidak lagi menjadi pilihan. Apapun sekolahnya yang dekat dari rumah, tidak perlu membayar ongkos, yang kalau lapar masih bisa ditahan, yang jarang ada kegiatan di luar, atau yang bisa pulang lebih awal karena tidak ada guru biar si anak bisa bantu-bantu ibu di rumah. Itupun harus pontang-panting menabung iuran sekolah.

Pada akhirnya, banyak Rani-rani lain yang terjerat di belenggu ekonomi ini dan kadang tak ada pilihan lain selain duduk di rumah, hampa tak berkegiatan, ikut orangtua ke sawah untuk berladang, ikut orangtua ke pasar untuk membuka lapak dagangan. Lalu mereka tumbuh remaja dan semakin dewasa dan menunggu di lamar. Mudah-mudahan tidak hamil duluan. Beberapa dari mereka bisa bertahan, mencoba peruntungan di ibukota atau kota besar, menjadi asisten rumah tangga atau menjaga toko. Sebagian kecil dari mereka mungkin sadar pendidikan dan mencari peluang-peluang lain hingga di sekolahkan majikannya. TAPI ITU SEDIKIT!. Banyak dari mereka yang menikah muda. Jerit hati si Rani adalah “seandainya aku bisa sekolah, setidaknya saya bisa bekerja lebih baik membantu orang tua saya. Tapi sudahlah, saya sudah sampai pada titik saya ikhlas lahir batin”. Ikhlas adalah penerimaan tertinggi untuk melawan takdir dengan bijak.

Saya mengakui, pendidikan SMA memang tidak mengajarkan semua hal. Namun, setidaknya bisa mengantarkan seseorang ke pilihan yang lebih banyak tentang masa depan. Dunia kerja memang pahit. Selembar ijazah SMA lah yang setidaknya bisa membedakan berapa upah yang akan diterima. Itulah kenyataannya. Lebih dari sekedar ijazah, setidaknya ada tambahan wawasan yang terbuka, tentang negri ini, tentang perhitungan matematika dasar, pemikiran yang lebih luas, belajar berorganisasi (jika ada), koneksi yang sedikit lebih lebar, dan pola-pola pembelajaran hidup yang diperoleh saat tiga tahun itu. Setidaknya SMA bisa sedikit memandirikan seseorang. Mungkin saja pikirannya bisa tercerahkan ketika membuka buku atau internet, yang bisa membawanya pada labirin-labirin kesempatan kerja di depan mata. Kita tidak akan pernah tau.

Dari persepktif orangtua, kebutuhan pokok seperti membeli sembako, membayar tagihan lisrik, membeli peralatan rumah tangga adalah prioritas utama, yang mana keuangan harus lari ke area ini dahulu sebelum ke yang lain. Pendidikan tentunya ingin menjadi prioritas mereka, sayangnya uang yang masuk setiap bulan harus dibagi-bagi. Siapa si yang tidak ingin anaknya bisa sekolah tinggi? Ketika ini tidak bisa dicapai, jalan terbaik adalah menyuruh anaknya untuk ikut orang untuk bekerja, belajar sebanyak-banyaknya, bekerja sekeras-kerasnya, jangan hanya bangun makan main (repeat) di rumah.

Mengapa saya menulis ini. Karena saya percaya lingkaran putus sekolah ini masih bisa teratasi, tapi masih memikirkan banyak cara. Mungkin saya bisa membantu Rani dengan crowdfunding, tetapi ini tidak sustain, bagaimana caranya ada stau program atau mekanisme yang bisa menyelamatkan Rani-rani yang lain. Mulai dari mana?

Pertanyaan mendasar saya adalah, apakah siswa-siswi ini sudah tercerahkan sejak awal tentang biaya minimal yang harus disiapkan untuk tiga tahun pendidikan SMA? Apakah mereka terlalu terkejut dengan besaran biaya ini dan sontak tidak bisa membayar samasekali? Ataukah memang sudah tau dan memang sudah tidak bisa diakali lagi? Atau sudah ingin memasrahkan anaknya untuk menikah atau dinikahi saja?

Sepertinya banyak jerat yang harus diurai. Mulai dari motivasi anak, peningkatan kemampuan ekonomi orangtua, sedekah para dermawan, CSR yang semakin menjangkau banyak kalangan, dan sebagainya. Dan, keadaan-keadaan ini terkadang tidak masuk ke dalam newsfeed media sosial kita sampai pada saatnya kita mengalaminya sendiri.

Pengendara yang (Terlalu) Muda

Saat ini memiliki motor itu sepertinya sudah menjadi sesuatu yang wajib, kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Tidak heran jika mungkin kita atau tetangga kita sering sekali kesana kemari menaiki bebek bermesin ini entah untuk keperluan yang memang penting atau sekedar untuk jalan-jalan santai (menghabiskan bensin). Tak hanya diminati orang tua, motor ini juga telah berhasil membius anak-anak untuk bercita-cita mampu membawa sepeda motor sendiri, dengan berbagai cara hingga orangtuanya luluh mengiyakan. Tapi, bijakkah?

Ada beberapa alasan dari orang tua tentang ini. Dalam kondisi lingkungan yang jauh dari mana-mana, orangtua biasanya memberikan anaknya motor untuk berangkat sekolah. Mengapa? Karena untuk menempuh sekolah tersebut bisa berjam-jam dengan berjalan kaki. Basah kuyup keringat mengucur, kaki pegal-pegal dan kelaparan, “lah ra sido sekolah”. Orangtuapun harus berangkat pagi-pagi bekerja. Tidak ada angkot lewat di daerah ini. Dalam kondisi ini, saya tidak bisa idealis, mereka butuh pendidikan dan efisiensi waktu.

Akan tetapi, banyak kasus-kasus lain yang membuat saya “kok dibolehin ya anak-anak ini?”. Banyak anak-anak SD di sekitar saya yang bersliweran tiap sore dengan motor bapaknya. Dari persepktif anak, adalah suatu kebanggaan tiada tara jika anak SD atau SMP bisa menaiki motor, main ke rumah A mengerjakan PR (atau sekedar main atau menanyakan nomor hape teman lawan jenisnya lalu ngapel). Namun, tidak sedikit dari mereka yang ketika naik motor, kakinya belum sampai nginjak tanah atau masih jinjit. Kadang juga masih “egal-egol” tidak yakin, belok tanpa lampu sein, dan benar-benar terlalu bahagia untuk dirinya sendiri balap-balapan sambil cengengesan. Mungkin kalau saya jadi mereka, saya cuma bilang”kalau ada apa-apa, ada Bapak saya”. Yang saya cermati adalah kepekaan sosial mereka masih jauh, masih drive for happiness, belum berempati terhadap pengendara lain di jalan.

Dari perspektif orangtua, mungkin mereka ingin menghadiahi anak sebagai bentuk cinta kasih mereka. Atau motor baru sebagai hadiah karena anaknya lulus SD dengan hasil memuaskan atau anak laki-lakinya bersedia disunat. Atau bisa saja, “Wis dadi karepe anak” yang seolah-olah orangtua sudah tidak punya cara lagi. Mungkin juga faktor peer pressure karena tetangga-tetangga juga demikian. Memang ya kalau namanya social pressure seperti ini, manusia berlomba lomba untuk terlihat baik di mata orang. Air muata buaya anak kecil itu hebat sih ya. Namun apapun itu alasannya, it is more harm than good.

Dulu saya diizinkan belajar motor waktu kelas III SMP (Kelas IX) saat sudah selesai ujian. Bagi ayah saya itu adalah waktu yang tepat karena mungkin secara fisiki kaki saya sudah sampai menginjak tanah ketika naik motor (hahaha) dan sudah cukup bisa membawa diri. Secara hukum belum boleh. Ok, saya mengakui ini salah. Iya salah. The thing is. Praktek-praktek anak di bawah umur menaiki sepeda motor ini banyak sekali (plus yang kebut-kebutan dan tidak memakai helm). Sebenarnya sudah adakah program dari kepolisian to address this issue? I don’t know yet. Masalahnya ini terjadi di setiap pelosok atau jalanan komplek pedesaan. Mereka bakal dikenai hukuman tidak si? Atau mereka tau kan?. Atau yasudah biarkan saja, toh hukum negara ini memang tidak akan pernah lengkap mengatur sampai detail, atau biarkan saja karena saya juga manusia yang punya anak istri yang melakukan demikian.

Do you have any ideas? Kadang malesnya di kita adalah menyuarakan seperti ini, kena serang balik, seperti kasus Afi padahal niatnya ingin mencari pemikiran bersama-sama. Atau bilang kenapa tidak kamu (penulis) yang sekalian cari idenya? That’s perfection at its best. Kalau stance saya, anak-anak sampai lulus SMP belum boleh diijinkan mengendarai motor sendiri karena faktor pskiologi, fisik dan kematangan sosialnya. Biarkan mereka merengek-rengek karena memang belum siap.

Pengendara Motor dan Kepekaan Sosial

Bagi saya, tahun 1990 adalah masa saat motor menjadi kebutuhan tambahan (tersier) dan penanda status sosial seseorang. Setidaknya itulah yag terjadi d daerah saya di Pringsewu, Lampung. Bisa dihitung jari orang-orang yang mampu membelinya. Bahkan saat itu, untuk menghadiri acara kondangan, keluarga saya harus menempuh perjalanan dengan sepeda kumbang lengkap dengan sensasi jalanan terjal yang belum diaspal. Sesekali meminjam motor tetangga dengan mengisi bensin sebagai rasa terimakasihnya, tapi tidak bisa terus-terusan pinjam. Bahagia seperti lebaran adalah ketika sepeda bermesin itu bisa membawa saya ke jarak yang lumayan jauh, dengan tempat duduk yang empuk dan dengan kecepatan yang diatur sesuka hati tanpa pegal betis setelahnya.

Tahun 200an menjadi penanda waktu motor mulai dimiliki sebagian orang di sini, untuk mengantar barang dan kebutuhan strategis lainnya. Saat itu banyak orang yang masih berpikir yang penting motornya, merk menjadi prioritas nomor sekian. Mungkin logikanya adalah apalah arti sebuah merk kalau sama-sma bisa jalan. Lambat laun, perusahaan motor juga semakin cerdik menarik konsumen. “Iming-iming” yang membuat orang “saya pengen beli”. Menjelang bulan puasa misalnya, tawaran kredit motor sangat menggiurkan kalangan menengah ke bawah untuk tampil gaya dibulan ramadhan dan lebaran dengan motor baru yang masih “gres” dan belum berplat lengkap dengan baju-baju lebaran. Tidaklah salah memiliki sepeda motor. Everyone deserves to be happy with that. Tidak peduli beli cash atau kredit, untuk bekerja atau untuk mempermudah mobilitas sehari-hari, atau untuk memoles status sosial. Yang perlu digarisbawahi adalah ketika kemampuan membeli dan menaiki sepeda motor itu tidak diimbangi pemahaman aturan berkendara dan norma sosialnya. Aturan sudah ada dari pemerintah, namun norma sosial ini yang masih samar-samar.

HELM

“Ini bukan jalan mbahmu”. Mungkin itulah umpatan yang sering muncul ketika banyak orang melanggar lalu lintas di sirkuit aspal (baca: jalan raya). Berapa banyak orang yang terlalu percaya diri bahwa nyawa mereka akan baik-baik saja manakala mereka kebut-kebutan atau tidak memakai helm. Saya paham bahwa kapan kita celaka atau in the worst case kita dipanggil Tuhan itu sudah tertera di lembaran takdirNya, namun banyak orang yang merasa terlalu percaya bahwa “Belum saatnya saya celaka, jadi mendingan saya pamer gaya dulu selagi belum saatnya mati”. Saya masih bertanya-tanya apa yang membuat mereka berani berkendara tanpa helm, memprioritaskan kekerenan wajahnya dengan mengendarai motor daripada menutup kepala walau tampak seperti robot atau astronot. Bagi wanita yang berhijab, helm kadang cuma nempel dikepala sambil dipegangi takut hijab do nya rusak. Apakah ini ketakutan dalam diri saya terhadap satu-satunya otak dan kepala yang saya miliki selama satu kali hidup saya? Semaju-majunya teknologi, resiko juga akan tetap ada. Aspal yang halus memang nyaman untuk ban motor, tapi tidak untuk kepala kita.

“Gak usah pakai helm, gak ada polisi”. Sebuah naratif yang juga ditularkan kepada siapa saja termasuk kepada anak-anak. Memang benar, jika tidak memakai helm sewaktu ada razia, kita akan kena tilang, lalu kita mengeluarkan sejumlah uang. Entah mengapa, apa yang perlu ditakuti dari seorang polisi ketimbang sejumlah ratus ribu yang harus kita keluarkan karena kebodohan (kelalaian) kita sendiri. Mereka menjalankan tugas negara, mengingatkan orang-orang yang khilaf dan malas mengurus surat-surat. Terlepas uangnya masuk ke kantong siapa ya. Resiko jatuh dari motor akan selalu ada sekalipun kita sudah hati-hati, saat jatuh lengkap dengan gegar otak dan pendarahan hebat sampai nyawa tidak tertolong ataupun malfungsi otak itu juga satu banding sejuta misalnya. Namun, ketika satu banding satu juta ini yang meghampiri kita, tidak ada yang bisa berbuat apa-apa kecuali keajaiban Tuhan. Itupun kalau beruntung. Bagi saya memakai helm adalah cara saya mencintai Tuhan dan menyayangi diri sendiri, membuat diri saya merasa sudah berikhtiar sekalipun apa-apa nanti terjadi sekaligus membuat diri saya lega.

MENDAHULUI

Masalah perhelman ini juga bersinggungan dengan masalah tancap gas sesuka hati dengan prinsip “motor dan mobil di depan saya harus bisa disalip”. Pastinya seseorang merasa puas jika skill menyalip kendaraannya semakin terasah sehingga bisa mencapai tujuan dengan lebih cepat dari biasanya. Tapi tidak harus menyalip kendaraan sebanyak-banyaknya. Kadang banyak yang nekat (atau mungkin ini ketakutan saya saja) demi memuaskan hasrat lalu tertawa puas menyalip truk fuso pembawa karet yang baunya kemana-mana. Percaya diri itu penting, tapi analisis resiko untuk diri sendiri dan pengendara lain itu juga penting. Kadang yang membuat kita lupa adalah kita baik-baik saja, namun ada orang yang berusaha menghindari maut dan kecelakaan karena ulah kita di jalan. Saya belum riset tentang banyaknya kecelakaan yang diakibatkan oleh faktor menyalip kendaraan, tapi saya yakin itu banyak. Sing hati-hati ya Bapak/Ibu, orang lain tidak terlalu peduli dengan level keahlian menyalip anda yang tinggi.

BELOK DADAKAN

Hal lain yang sering mebuat saya mengelus dada adalah orang yang tiba-tiba langsung menyalakan lampu sein dan langsung belok. Come on, entah apa yang ada dipikirannya. Apakah dengan menyalakan lampu sein dan langsung belok secara hukum sudah benar sehingga jika terjadi kecelakaan bisa membela diri dengan mudah?. Ada orang yang berusaha menghindari maut dan kecelakaan karena ulah kita di jalan. Mari kita berpikir dengan logika matematika dan biologi dasar. Orang yang melihat lampu sein kita adalah orang yang sebenarnya berkonsentrasi untuk melihat jalan lurus dan fokus pada tujuannya. Lampu sein adalah sinyal untuk mengalihkan orang-orang yang berkonsentrasi tersebut agar melihat motor yang menyalakan lampu tersebut. Tidak hanya untuk melihat, lampu sein adalah tanda agar kita memberi jalan. Tapi proses agar pesan “minggir dong” ini dipahami, butuh proses yang agak lama. Saya tidak tau berapa detik yang dibutuhkan, tapi otak manusia tidak bisa merespon sesuatu yang tiba-tiba. Lampu sein akan dilihat oleh mata, input dari mata diteruskan ke otak bahwa ada yang menyalakan lampu sein, lalu dikirim ke bagian otak lainnya untuk menerjemahkan makna lampu sein bahwa badan harus berbuat sesuatu. Dari otak mengirim sinyal respon ke mata, tangan, kaki bagaimana caranya agar motor dengan lampu sein tersebut diberi ruang sekaligus mengamankan diri sendiri agar tidak tertabrak kendaraan lain di sekitarnya. Intinya kalau ribet dan malas dengan logika ini, berempatilah, pikirkan orang lain juga yang berkendara di dekat kita. Nyalakanlah lampu sein sampai kira-kira orang recognize nyala lampu kita.

KONVOI ALA-ALA

Pernah lihat pengendara, biasaya anak SMA, merapatkan sebelah kakinya ke motor temannya lalu konvoi beriringan dan makan tempat di jalan? What’s your point? Kadang mereka berkendara lambat sambil tertawa-tawa. “Ini bukan jalan mbahmu”. Banyak orang yang perlu mendahului karena berbagai kepentingan, dan mereka tidak bisa kecepatan di bawah mereka. Mentok-mentok mereka akhirnya mengklakson berkali-kali daripada frontal “Minggir, whoy!!”. Orang-orang yang ingin mendahului ini perlu space menyalip, jangan ngobrol di jalan beriringan.

DI LAMPU MERAH

Siapa yang kesal mendengar bunyi klakson bersahut-sahutan di lampu merah? Saya termasuk salah satunya. Banyak orang yang masih tidak peka di lampu merah. Yang pertama adalah orang yang memanfaatkan early second lampu merah untuk jalan terus. Menurut saya ini menjadi salah satu faktor kenapa kita semakin lama menunggu di lampu merah. Again, Ada orang yang berusaha menghindari maut dan kecelakaan karena ulah kita di jalan. Lalu anda bangga, if you do this, kalau berhasil melakukan ini? Terimalah takdir anda untuk menunggu 2-3 menit saja. Kita perlu berempati dan berkorban waktu karena aturan (lampu merah) tidak bisa memuaskan semua pihak. Biarkan mereka menikmati hak mendapatkan lampu hijau. Kalau tidak mau, pelajari saja siklus lampu merahnya setiap hari, sama atau tidak, kalau sama berarti hitunglah setiap jam berapa lampu merah menyala di jalur yang anda kehendaki, lalu hindarilah waktu-waktu itu. Yang kedua adalah orang-orang yang tidak sabar yang melampiaskannya melalui klakson. Come on!. Jika kita berada di baris belakang jalur lampu merah, sabar. Para pengendara baris di depan juga menantikan lampu merah dan tidak mau berlama-lama di situ. No good at all of being in that area. Yang jalan duluan adalah yang dibarisan depan. Ketika kita berada di barisan belakang, tidak bisa disamakan dengan yang depan. Klakson berkali-kali juga useless, karena ada masa transisi setiap kendaraan di depan kita. Misal, orang yang berada di 5 meter pertama dekat lampu merah butuh waktu 6 detik, berarti orang yang berada di 5 meter keempat atau meter ke 20 berarti butuh waktu 24 detik. Again, kalau malas berlogika, tunggu aja gilirannya. Berempati lah.

Cerita saya diakhiri dulu sampai sini. Saya percaya masih ada orang baik dan berempati dengan orang lain ketika berkendara. Buat diingat bersama bahwa kita hidup berdampingan dan menghargai orang lain di jalan raya itu penting sekali. Hati-hati di jalan ya teman-teman.

FAQ tentang Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

  1. Apa saja peluang kerja lulusan Bahasa dan Sastra Inggris?
  2. Bagaimana Akreditasi Bahasa dan Sastra Inggrsi UPI yang terkini?
  3. Berapa passing grade Bahasa dan Sastra inggris UPI di beberapa tahun kemarin?
  4. Apakah mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UPI bisa menjadi guru?
  5. Daftar mata kuliahnya apa saja?
  6. Bagaimana penjurusannya?
  7. Apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum masuk dan ketika menjadi mahasiswa?
  8. Bagaimana kalau Bahasa Inggrisnya masih jelek, tapi ingin masuk Bahasa dan Sastra Inggris UPI?
  9. Apa saja kegiatan serunya ketika menjadi mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UPI?

Ayo, adik-adik. ini pertanyaan yang pernah mampir ke saya beberapa bulan lalu. Saya sedang mencari narasumber (mahasiswa atau dosen) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kalau masih ada yang ingin ditanyakan, silakan tinggalkan komentar di postingan ini ya. 🙂

website Bahasa dan Sastra Inggris UPI: engish.upi.edu

Terimakasih PDT SSEAYP 2015

Akhirnya saya bisa menghela nafas lega dan rasanya kasur kamar wisma wiratno nomor 21 adalah kasur nikmat yang saya tunggu-tunggu, saya ingin tidur melepas lelah PDT. Malam itu adalah, eh pagi itu adalah 26 Okt 2015. Walaupun hanya dua kasur berjajar dan ditiduri 3-4 orang, tapi rasanya saya bisa tidur sedikit lelap dengan selimut batik makassar. Di samping saya sudah ada Bian yang sudah tertidur nganga nggelebak sana nggelebak sini dan piyan dengan pose sok-sok sleeping handsomenya. Oya, batik makassar ini sudah saya klaim, padahal punya kia, sudah saya pakai jadi bawahan sehari semalam, dan masih ada aja yang ingin mlorotin, dan juga dipakai jadi alas meja tempat kue VIP closing PDT, ya baunya udah kemana-mana, semoga makanannya masih enak. Sebenarnya saya cukup berdosa, teman-teman saya masih di Amphie Pusoyu, menggiring dan “menguprak-uprak” garuda42 untuk segera packing kontingen di tengah-tengah kantuk yang sudah terlawan oleh penampilan seni yang bikin mereka senyum-senyum agak puas.

Beberapa detik menjelang keberangkatan, garuda42 sedang late lunch (soalnya packing tidak selesai-selesai bongkar sana, bongkar sini), saya sudah beres mandi dan siap-siap berangkat ngawas speaking test Salemba. “Lho, kamu nggak ikut send off”, sore itu saya harus ngawas ujian, jadi saya tidak ikut, tapi rasanya berat sekali, rasanya kenangan PDT ini kurang lengkap kalau tidak ikut ke Bandara untuk send off. Saya baper dan mellow sekali, semenjak garuda42 rehearsal NP nyanyi “terimakasih cinta”, saya sudah misek-misek ditahan. Gini amat ya jadi panitia PDT, padahal bawaannya kesel melulu. Lanjutkeun. Saya pamit dengan teman-teman alumni, dan sambil lewat “see you in the next two months” ke garuda42…. karena kalau saya salaman satu-satu pasti bakal ….. ah sudahlah. Waktu jalan ke lorong kamar putra, tetiba Janice dan Jefri nyamperin “Kakak makasih ya….. untuk semua bantuannya…. ” pelukan dan saya tersenyum… “huanjirrr… you guys”, dua orang yang saya notice sangat helpful dan humble. Btw, bapak grabbike sudah menunggu depan gerbang seskoal. saya berangkat… dan hampir misek-misek lagi di tengah perjalanan ke Salemba. Rasanya… saya masih khawatir, bisa nggak ya mereka dilepas, inget nggak ya tugas-tugas dan detailnya, masih underpressure nggak ya… udahlah bismillah, mereka pasti bisa. Lalu, terlihatlah raut muka bahagia mereka di path. Path yang penuh gambar2 send off, “malam dan hari sakit sedunia”.

Teman-teman dan kakak-kakak alumni SSEAYP tercinta, terimakasih atas semangatnya, yang membuat saya selalu teringat nilai-nilai ketulusan dan keikhlasan dalam bekerja dan berbuat… entah mengapa PDT 2015 ini memiliki kesan yang sangat dalam bagi saya. Awal kesan mendalam PDT 2015 ini dimulai jauh-jauh hari sebelumnya, di sebuah deretan kamar yang kami beri nama The WAY (Wildan Adi Yogi) yang kemudian menjadi The Y karena Wildan dan Adi pindah. Waktu itu Wildan ke Jakarta lagi untuk ikut fully funded training  tentang life planning, seselesainya program itu Wildan menginap di kosan. Wildan menunjukkan semangatnya bahwa ia bersedia menjadi PO PDT, ia ingin mendedikasikan waktunya untuk PDT 2015. Saya kaget, sedih, sekaligus gembira. Setelah resign dari internship di perusahaan di Jakarta, Wildan ingin sekali melanjutkan cita-citanya untuk sekolah lagi dan seharusnya dia berada di track ini. Tapi entah mengapa, ia memilih untuk menunda cita-citanya ini dan melewati masa-masa persiapan dan pelaksanaan PDT yang sangat tidak mudah, complicated, ada aja komentarnya, full concentration. Ini adalah pengorbanan besar yang sangat sangat saya hargai, mempersiapkan banyak orang dengan menunda kesuksesan diri. Tapi saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan lompatan rizki bagi mereka yang tulus berkorban, cepat atau lambat. Begitu juga dengan Tama, teman super detail, terstruktur, dan mampu menaklukan hal-hal teknis yang ribetnya melebihi menaklukan cewek yang labil ketika diajak makan dan labil kalau dibilang gendut/kurus. In one side, Tama adalah teman yang kami harapkan dapat membantu wildan. Putri Solo vs Ken Arok, aduh saya bingung nemuin padanannya, yang satu seksama yang satu cekatan. Di tengah-tengah waktu menjalani bulan-bulan pertama di MayBank, tama juga yang harus berurusan dengan keuangan, dokumen, dan segala printilan logistik dan semuanya terlewati…..di Garuda40 mereka berdua adalah orang yang kami sayangi dan banggakan. Saya kadang malu sendiri, karena tidak bisa banyak bantu dan selalu datang rapat ketika yang lain sudah pada pulang (tapi sering disisain porsi sate depan GH).

Dengan segala kesibukannya jadwal kerja weekend, mengurus keluarga, kuliah, istirahat weekend, family time dsb, sulit sekali mengumpulkan Jakarta PYs angkatan saya untuk berkumpul dan meminta bantuan. Sampai dititik yasudah lah ya mau diapain lagi…. saya percaya bahwa Tuhan tidak tidur. Eva – abang, mpok yang menyatu di badannya – adalah teman curhat saya selama kuliah dan rapat-rapat di GH, teman ghibah di KRL dan teman penyemangat yang selalu mencoba keep update attire garuda42 udah sampai mana, kakak alumni yang handle udah sampai mana saya bisa bantu apa. One thing I remember from him, eh her… di tengah-tengah sumberdaya yang sedikit “SSEAYP gives me a lot, di saat saya punya waktu buat pay back, kenapa nggak”. Dan di sela-sela bulan2 pertama di Frisian Flag jadi MT, saya tahu dia sedang stress ditambah dengan rumahnya yang kemalingan saat awal PDT, my gosshhhhh makkkkk…. lu kenapa lagiiiiiiiii…. dia masih menyempatkan waktu saat PDT dan cukup pedas melebihi sambal penyet depan seskoal untuk benerin attire dan make up garuda42. Makasih ya Mak.

Sayapun terkejut – rupanya nggak maen2 – kalau si dokter baik hati dan binalwati garuda40 RESIGN dari kerjaannya buat dateng PDT, sampe saya berpikir “Lu ngapain pake resign, dah lho.. ditekuni dateng diakhir aja”. Saya supersalut dengan ibu dokter bertenaga kuda liar sumbawa ini. Dan benar, Ocha jadi bemper panitia untuk una-ini-una-ini dan update perkembangan psikis dan medis salah satu peserta, bolak-balik RSCM beserta printilannya. Tuhan dengan rencana yang tak terdugaNya ngirim Ocha buat kami saat, yah you know situasi yang tidak pernah kami bayangkan. Makasih banget ya cha…. buruan nikah. Kami butuh kepastian.

“Masyog, tenang aja, dari tanggal 20an, aku bakal di SESKOAL” wa dari mak Kia, si press-attire yang serba bisa una-ini, yang pasti udah nabung jauh-jauh hari pokoknya, udah sampe aja di Jakarta jauh-jauh dari Makassar. Ghibah dan kebaperanmu adala hiburan bagi kami JPY. Terimakasih atas gercep dan kedetailannya mempimpin kepanitiaan pengukuhan.

“Pokoknya kabari aja ya, dan kasih suratnya H-3 minggu PDT paling lambat” kata Opo saat SSEAYP kumpul lagi. Duh,, ngirim sms hari apa nyampe hari apa, ngomong di telpon juga iya-iya aja. Saya tau, Opo harus bergelantungan di pohon untuk mendapatkan sinyal diperbukitan Wamena, dan harus ke kota yang nggak tau berapa jauh jaraknya untuk mendownload surat. Dan… dia datang dong H-1 PDT. “If you need my help, just ask me” mulai dari motokopi, bangun pagi, stand by di ruang sesi, ngedit musik, soundman, dan pasti kurang tidur karena masih ada diskusi bareng bang Melv setelah anak-anak tidur. Pokoknya masalah kelistrikan saya bego banget deh, dan udah nggak ngerti lagi deh saya harus berterima kasih pake apa.

“Pak, barusan ku emailin draft PBB, kasihin ke anak-anak. Maaf ya aku mau konsen skripsi, belum bisa bantu PDT taun ini”, fufufufu……..Edho nggak bisa dateng. Teman yang paling gercep untuk bantu sana-sini dan selalu tersenyum “Saya siap bantu” tahun ini nggak bisa dateng. Bakalan tidak ada kata “Ulangi” di PDT ini. Tapi beberapa hari sebelum PDT “Pak, liat besok ya, kalau aku dapet ACC dosen aku cabut dateng PDT”, “Pak, angkat telponnya” “Pak, aku mau beli tiket aku berangkat” ….wwwwwwhhattttt….. “skripsi lu gimanaaaaa” dan dengan berbagai misi Edho datang ke PDT. Saya masih khawatir.. skripsinya bakal selesai tidak, se nyuri-nyuri waktunya untuk PDT tetep saja tidak konsen. Fisik boleh di kantor atau pengen baca buku, tapi hati dan pikiran pasti di PDT. Dengan segala kebiasaan bangun subuh, ke-gercep-an, dan ke-segala-siapannya, edho DOES help us a lot menggembleng kedisplinan dan keseriusan garuda42. Dan di kala teman-teman masih ngeZombie habis renungan, dia sudah cabut marathon 10K pagi-pagi dan pulang bawa medali. Dho, teriring doa untuk kelancaran dan ke-on-time-an penyelesaian skripsimu, untuk kesehatanmu. Semoga melalui dedikasimu di PDT ini, Tuhan memberikanmu banyak kemudahan untuk menyelesaikan tugas akhir, Salam semangat dan please let us know if u need help.

Terimakasih kepada para PIC harian. Terimakasih Raissa yang jadi susah belajar menyiapkan Tes IELTS, bawa-bawa A1, rajin mengisi evaluasi dan bikin bintang-bintang, di penutupan datang lagi, dan segala kesiapsiagaannya bantu-bantu banyak, berkat form google dan sesi nguprak-ngiprak group abhinaya dan garuda40, pembantu umum yang dateng jadi banyak. Terimakasih Ade dan Mbok ning atas perhatian dan bantuannya di tengah-tengah waktu bekerjanya. Terimakasih Bian – tukang foto, pengawas sesi, reminder peserta, petugas kamar, dan segala bantuannya. Tuhan sekali lagi menahanmu untuk tidak pulang sebelum pengukuhan. Terimakasih telah menjadi duplikatnya Raissa (mungkin bentar lagi jodohnya), menjadi partner wara-wiri yang suka dibully dan membully, dan tugas harian terlaksana dengan rapih. Putar lagu pamela lagi boleh. Terimakasih Dimas atas ide kreatif pelaksanaan pdt, The city exploration was aweeesssoomeeee!!!! menyusun format evaluasi dan administrasi yang rapih (walau nepi ka bosen, anak-anak belum nyerahin form sampai saat ini. Tapi saya tidak akan lupa. hahaha #nyinyir). Terimakasih Ijal Nicky… you guys awesome.. yang bolak-balik Jambi dan yang eh malah ga ikut penutupan. Terimakasih kedatangannya dan tugas2 cabutan yang saya bagikan. Maaf suka nyuruh2.

Terimakasih Trio Kang Ade, Bang Ronal, Mas ivan, yang mengonsep garis besar PDT dan konsep team buildingnya. Aku lupa sebutan trio ini, Ka Pia inget. Makasih printernya, jajannya, dan ide-ide besarnya…..

Terimakasih Bapak Kesenian tiada tara, yang meluangkan banyak sekali waktu selama PDT. Tidak ada yang berani tidur di kasur bang Melvin kecuali bang Hamdi.hahahahaha.  Terlalu sakral sepertinya #peace. Terimakasih atas transferan spirit merah putih, kepekaan terhadap teman2 garuda42 dan masukan-masukan kepada panitia inti. Terimakasih telah mengajarkan bagaimana membentuk dan menjadi kontingen yang baik. Terimakasih juga untuk bang ikhwan, mbak uthe, uda wira, bang hamdi, Ka Ita.

Terimakasih kepada ibu Kepala Sekolah SSEAYP, Kak Pia, atas masukannya, kerjasamanya, dan all things related to materi pemateri kurikulum besar dan eksekusinya, Houwoo…mungkin sudah bosan sekali ngirim jadwal terbaru terbaru terbaru lagi. It’s been 2 years kak, dan tahun ini semakin tertata. Mau pulang bareng orang-orang ronda lagi nggak? hahaha…. terimakasih atas waktu dan perhatiannya di tengah-tengah kesibukan mengurus CIKAL. By the wat mari kita perdayakan dimas untuk jadi pak guru tahun depan :).

Kepada SSEAYP woman, ka Tari, yang selalu ditanya-tanya mulai dari nggak penting, dan mulai dari yang pertanyaan amatir, terimakasih atas segala update-annya, alur birokrasi, dan respon cepat terhadap wa wa dadakannya. Pokoknya jadi ngerti banget dh harus kemana isinya apa, termasuk kelengkapan profile book, narsum, teknis upacara, dan printilan lainnya…

Terimakasih tim Press (Puji-pram), SII (Bang Oddy) updater sosmed and web (Uda Wira), attire (Nobe, andin, meika), VA (bugi), CA(iyus, ka tefi), exhib dan PO terghibah dan terbaper (Piyanika skoriztkova), tim clearance sebelum check out (dwi, khaleeda), tim semprot dan ghibah (asa dan jamaah garuda40), tim Ganteng-ganteng seskoal untuk kebersihan toilet pengukuhan (rhendy – dendy), dan sebagai-sebagainyaaaaa…

****

Dari PDT ini saya semakin belajar tentang semangat berkolaborasi, bisanya dimana dan bisa bantu apa. Saya belajar ketulusan dan kepedulian dari teman-teman alumni yang datang. Saya belajar tentang dedikasi waktu yang mereka berikan. Saya belajar bahwa membentuk sebuah tim membutuhkan banyak hal detail untuk dilihat dan diamati perkembangannya. Saya belajar bagaimana membuat hal-hal rumit printilan jadi sederhana. Saya belajar untuk mengurangi ketidakenakan saya ketika meminta bantuan. Saya mendapatkan banyak teman bercerita di sini. Saya belajar bahwa komunikasi dengan buanyakkk orang itu harus tetap dipantau dan dijaga walaupun on rush. Saya belajar bahwa pasti ada pekerjaan-pekerjaan kecil yang teman-teman lain belum “ngeh itu penting”, dan disitulah saya bisa membantu. Saya belajar menggunakan berbagai jenis shampoo, detergent, sabun, dan odol (hahaahhaaa.. ketahuan tukang pake toiletriesss punya orang). Saya belajar bagaimana menengangkan orang yang panik dan emosi, meskipun saya juga orangnya panikan.

In the end, saya juga belajar banyak dari teman2 garuda42 yang sedang ikut program, ketulusan Adi, Keinisiatif-an Happy, dan kepekaan jefri, ketenangan Mia, kepedulian Dika, keaktivan Grandy, keenergikan tarian Endy-janice, keoptimisan Isach, Kebodoran Rere, dan sebagainya…

Terimaksih PDT SSEAYP 2015 yang memberikan Oktober yang membahana ……..